Jakarta- lamaksee.com -, Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang memutuskan bahwa pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta, harus diselenggarakan secara gratis tanpa pungutan biaya. Putusan ini merupakan respons terhadap permohonan uji materi oleh sejumlah pemohon, termasuk Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), yang menganggap bahwa frasa “wajib belajar tanpa memungut biaya” dalam UU Sisdiknas bersifat multitafsir dan diskriminatif terhadap peserta didik di sekolah swasta.
Muhammad Adrian Perdana, Dosen Politeknik Pengadaan Nasional
sekaligus pengamat kebijakan publik ini memandang bahwa putusan ini adalah
langkah progresif yang mencerminkan amanat konstitusi Pasal 31 ayat (2) dan (4)
UUD 1945, yakni bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, dan
negara berkewajiban mengalokasikan anggaran minimal 20% dari APBN dan APBD
untuk pendidikan.
Namun, kebijakan progresif ini bukan tanpa tantangan implementatif.
Pertama, terdapat persoalan mendasar terkait kapasitas fiskal negara.
Pemerintah pusat dan daerah kini dihadapkan pada tuntutan pembiayaan yang lebih
besar untuk mengakomodasi kewajiban penyelenggaraan pendidikan dasar gratis di
institusi swasta. Dalam realitas anggaran yang terbatas, penambahan beban
fiskal ini berisiko mengganggu alokasi sektor lain yang juga vital.
Kedua, perlu dicermati bahwa sekolah swasta memiliki struktur kelembagaan yang otonom, umumnya dikelola oleh yayasan yang menjalankan prinsip swadaya masyarakat. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini berpotensi menimbulkan gesekan antara asas otonomi pengelolaan lembaga swasta dan prinsip aksesibilitas universal terhadap pendidikan.
Dalam tataran praksis, apakah negara akan menanggung seluruh biaya operasional sekolah swasta atau hanya memberikan subsidi terbatas? Ini menjadi pertanyaan fundamental yang belum terjawab secara komprehensif.
Ketiga, belum adanya aturan turunan (regulasi teknis) dari putusan
MK ini menimbulkan ambiguitas implementatif. Pemerintah perlu segera merumuskan
kerangka regulatif yang mampu memberikan kepastian hukum, baik bagi
penyelenggara pendidikan swasta maupun peserta didik, agar kebijakan ini tidak
berhenti sebagai norma deklaratif belaka.
Lebih lanjut, saya berpendapat bahwa perlu ada pendekatan
klasifikatif dalam pelaksanaan putusan ini. Negara seharusnya memprioritaskan
dukungan pembiayaan kepada sekolah swasta yang menjalankan fungsi publik secara
nyata, seperti di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) atau kawasan
urban padat yang kekurangan sekolah negeri. Pendekatan berbasis kebutuhan ini
akan lebih tepat sasaran dibandingkan pendekatan generik yang berisiko
menimbulkan moral hazard dan inefisiensi anggaran.
Putusan MK ini baik, sebagai bentuk afirmasi terhadap prinsip
keadilan sosial dalam pendidikan. Namun, dalam perspektif kebijakan publik,
putusan ini memerlukan policy translation yang hati-hati dan berbasis data agar
transformasi sistem pendidikan nasional berjalan adaptif, berkeadilan, dan
berkelanjutan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar