Muhammad Adrian Perdana, S.IP., M.Si, CPM
PEKANBARU- lamaksee.com -, Dalam pidatonya pada 2 Mei 2025 di Universitas Bina Nusantara, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyatakan bahwa pelajaran AI dan coding akan menjadi bagian integral dari kurikulum nasional, dengan lebih dari 16.000 sekolah menjadi target tahap awal.
Muhammad Adrian Perdana, Akademisi Politeknik Pengadaan Nasional berpendapat, Wacana penerapan kurikulum kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di seluruh jenjang pendidikan di Indonesia mulai tahun ajaran 2025/2026 sebagai sebuah langkah yang ambisius, namun prematur . Ia mempertanyaan dasar yang harus diajukan adalah: apakah Indonesia benar-benar siap secara sistemik, kultural, dan infrastruktur untuk lompatan ini?
Digital Divide yang Masif
Realitas pendidikan di Indonesia masih dihantui oleh ketimpangan digital yang akut. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2023, masih terdapat lebih dari 12.000 sekolah yang belum memiliki akses internet stabil, dan sekitar 20% sekolah di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) belum memiliki perangkat komputer yang memadai. Di Papua, misalnya, lebih dari 60% sekolah dasar masih beroperasi tanpa jaringan internet.
Penerapan kurikulum AI memerlukan ekosistem digital yang holistik mulai dari ketersediaan perangkat keras, akses internet, hingga literasi digital dasar. Tanpa itu, gagasan ini bisa menjadi bentuk technological utopianism sebuah kepercayaan bahwa teknologi akan secara otomatis membawa kemajuan tanpa mempertimbangkan kesiapan struktur sosial dan pendidikan.
Kompetensi Dasar yang Belum Terpenuhi
Tingkat literasi dan numerasi siswa Indonesia juga masih memprihatinkan. Laporan PISA 2022 menunjukkan bahwa 70% siswa Indonesia berada di bawah level minimum kompetensi dalam membaca dan matematika. Kemampuan berpikir kritis sebuah prasyarat untuk memahami logika pemrograman dan algoritma AI masih menjadi tantangan besar. Maka, mengintegrasikan AI dalam kurikulum tanpa menyelesaikan fondasi kognitif ini justru bisa memperlebar kesenjangan pembelajaran (learning gap) antarwilayah dan antarsekolah.
Kurikulum Berbasis Kemampuan atau Sekadar Simbol Politik?
Alih-alih memperkuat dasar-dasar pendidikan, kebijakan ini terkesan sebagai policy signaling—yakni kebijakan yang dicanangkan lebih untuk menunjukkan komitmen terhadap modernitas dan daya saing global, daripada merespons kebutuhan riil pendidikan nasional. Kita tentu ingin mencetak generasi unggul, tetapi membebani guru dan siswa dengan materi AI tanpa pelatihan memadai hanya akan memperparah beban kurikulum yang sudah kompleks.
Data menunjukkan bahwa 56% guru di Indonesia belum pernah mengikuti pelatihan terkait teknologi informasi secara formal dalam tiga tahun terakhir. Maka, di mana posisi mereka dalam ekosistem kurikulum AI ini? Tanpa capacity building yang konkret dan terukur, transformasi ini hanya akan memperbesar ketimpangan.
Menurut Adrian, Dosen Manajemen Kontrak Pemerintah Polteknas, kurikulum AI seharusnya disusun secara modular dan berbasis peta jalan pengembangan kapasitas daerah. "Kita perlu desain kebijakan pendidikan yang asymmetric, menyesuaikan dengan tingkat kesiapan daerah, bukan menyeragamkan solusi dalam sistem yang begitu beragam," ujarnya. Pendekatan contextual differentiation ini menjadi penting untuk menghindari kegagalan implementasi yang disebabkan oleh over-generalisasi.
Membangun dengan Realisme, Bukan Sekadar Ambisi
Adrian tidak menolak integrasi teknologi dalam pendidikan. Namun, pendekatan yang dibutuhkan adalah pedagogical pragmatism yakni pengembangan kurikulum berbasis konteks dan kesiapan. Pemerintah semestinya terlebih dahulu fokus pada penguatan infrastruktur digital dasar, peningkatan kapasitas guru, dan perbaikan capaian literasi dan numerasi. Teknologi adalah alat, bukan tujuan. Dan dalam pendidikan, alat yang canggih pun akan sia-sia bila tidak didukung oleh fondasi yang kokoh.
Wacana kurikulum AI harus dikawal dengan kehati-hatian dan kajian berbasis data. Jangan sampai ambisi melahirkan distopia baru di dunia pendidikan: ketimpangan yang semakin menganga antara sekolah-sekolah unggulan di kota dan lembaga-lembaga pendidikan yang tertatih-tatih di pelosok negeri.
Tidak ada komentar
Posting Komentar